aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Potensi dan pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia

Zona Geografi - Potensi dan pengelolaan sumber daya kelautan Indonesia - Potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan baik yang sudah, sedang, atau belum dimanfaatkan. Sumber daya kelautan adalah sumber daya Laut, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta dapat dipertahankan dalam jangka panjang.



Jadi, potensi sumber daya kelautan adalah kemampuan sumber daya laut, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui serta mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan baik yang sudah, sedang, atau belum dimanfaatkan. Potensi sumber daya kelautan Indonesia sangat beraneka ragam, yaitu perikanan, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, mangrove, mineral, energi, transportasi, dan pariwisata.
A. Potensi Sumberdaya Kelautan
1. Perikanan
Salah satu upaya dalam mendukung visi pembangunan nasional Indonesia menjadi poros maritim dunia adalah melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut. Indonesia, yang dua pertiga wilayahnya adalah laut, mempunyai potensi sumberdaya alam laut, baik perikanan dan energi yang sangat besar. Sumberdaya perikanan Indonesia yang sangat tinggi sudah seharusnya menjadi komoditas utama Indonesia dalam percaturan ekonomi regional maupun global. Namun, secara umum, pemanfaatan sumberdaya alam kelautan Indonesia saat ini belum optimal. Potensi perikanan Indonesia jika digarap dengan benar dapat mencapai US$ 31.935.651.400/tahun. Komoditas perikanan dengan nilai komersial tinggi di Indonesia adalah udang, ikan tuna, cumi-cumi, dan rumput laut. Kondisi saat ini, produksi perikanan nasional masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan data KKP tahun 2014, produksi perikanan nasional baru pada kisaran 13,9 juta ton/tahun dari potensi optimalnya yang dapat mencapai 65 juta ton/tahun.
Akibatnya, sektor perikanan belum mampu membuat Indonesia berbicara banyak pada sektor ekonomi lokal, regional maupun global. Ekspor perikanan kita sampai saat ini masih kalah dibanding Vietnam (US$ 25 Milyar), negara dengan wilayah laut jauh lebih sempit dibanding Indonesia. Meskipun demikian, ada kenaikan total nilai ekspor produk hasil perikanan dan kelautan nasional. Pada tahun 2013 nilai ekspor sebesar US$ 2,86 Milyar dan pada tahun 2014 sebesar US$ 3,1 Milyar (BPS) (versi Kadin adalah US$ 4,63 Milyar). Target dari KKP untuk ekspor tahun 2015 adalah US$ 5,86 Milyar dan pada tahun 2016 adalah US$ 6,82 Milyar. Kadin menargetkan nilai ekspor yang lebih tinggi pada tahun 2015 sebesar US$ 9,54 Milyar, dimana target ini dapat dicapai dengan meningkatkan industri pengolahan dan pengemasan yang seluruhnya dilakukan di dalam negeri. Meningkatnya pemberantasan dan pencurian ikan juga membuat impor turun drastis. Tercatat hingga kuartal pertama 2015, ekspor perikanan nasional telah mencapai US$ 906.770.000 (4,36 juta ton) dengan impor hanya sebesar US$ 67.420.000, sehingga kita masih surplus sebesar US$ 839.350.0004. Kontributor utama adalah udang (US$ 449,95 juta), ikan tuna (US$ 89,41 juta) dan cumi-cumi (US$ 29,51 juta).
Belum optimalnya sektor perikanan Indonesia dapat dilihat dari
berbagai aspek antara lain:
a. kebijakan kuat yang baru masih belum diimplementasikan secara merata di seluruh wilayah Indonesia,
b. tingkat illegal, unregulated dan unreported fishing (IUU) yang meskipun mulai berkurang, namun pengurangannya masih belum merata di seluruh wilayah Indonesia (30% IUU dunia terjadi di Indonesia, dan menyebabkan kerugian mencapai US$ 25 milyar pertahun),
c. pembangunan infrastruktur laut yang masih tertinggal,
d. pelabuhan laut belum berfungsi optimal,
e. jumlah industri perkapalan yang masih sedikit, dan
f. armada kapal penangkap ikan yang mayoritas masih traditional dan belum dilengkapi peralatan modern.
Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk pengembangan budidaya laut, antara lain budidaya ikan konsumsi pada keramba jaring apung (kerapu, kakap, nila) maupun tambak payau (bandeng, udang), ikan hias, krustasea (udang, lobster, kepiting), kerang konsumsi, kerang mutiara, teripang, dan rumput laut. Budidaya laut ini umumnya dilakukan oleh masyarakat di wilayah pesisir pada perairan dengan jarak dari garis pantai kurang dari 4 mil laut. Potensi budidaya laut yang sangat besar ini jika dioptimalkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di wilayah pesisir, dan dalam konteks yang lebih luas dapat mendukung perekonomian dan pembangunan nasional sebagai poros maritim dunia. Hanya saja, baru 2% dari 4,58 juta hektar lahan potensial nasional untuk budidaya laut yang telah dimanfaatkan secara optimal.
2. Mangrove
Perikanan tangkap dan budidaya masih menjadi perhatian utama pengelolaan dan pengambilan kebijakan. Namun, sumberdaya alam laut yang tidak kalah pentingnya adalah ekosistem pesisir dan laut seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang secara langsung maupun tidak langsung juga berpengaruh terhadap keberlanjutan sektor perikanan di Indonesia. Dikarenakan fungsi-fungsi pentingnya, keterkaitan antar ekosistem tersebut dapat menjadi faktor penentu masa depan perikanan di Indonesia. Luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 33.000 km2 (PSSDAL BIG) kurang lebih 21,7% dari total luasan hutan mangrove di dunia. Versi lain menyebutkan bahwa hutan mangrove di Indonesia adalah seluas 31.129 km2 (Giri). Bersama dengan Australia dan Papua Nugini, Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati mangrove dunia. 
3. Padang Lamun
Padang lamun di Indonesia memiliki luas 25.742 hektar, dimana Indonesia merupakan Negara dengan tingkat keanekaragaman hayati padang lamun tertinggi di Dunia. Wilayah Indo-pasifik merupakan tempat hidup bagi lebih dari 15 spesies padang lamun. Adanya charisma gap antara padang lamun dengan ekosistem lain telah membuat ekosistem ini mengalami kerusakan. Charisma gap ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan pentingnya padang lamun bagi berbagai sektor kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Padang lamun mempunyai nilai ekologis dan ekonomis paling tinggi diantara ekosistem lainnya seperti terumbu karang, rumput laut, dan hutan mangrove, yaitu sebesar US$ 19.004 per hektar per tahun. Tiap tahunnya, fungsi ekologis dan ekonomis padang lamun Indonesia bernilai lebih dari US$ 114.024.000.000. Jumlah tersebut mencakup fungsinya antara lain dalam hal perikanan (pemijahan, mencari makan, bertelur, berlindung), serapan dan penguburan karbon yang mencapai 50 kali lipat lebih tinggi daripada ekosistem darat (blue carbon sink), menstabilkan sedimen dan menjaga kejernihan air, memfilter nutrisi dan polusi yang masuk ke laut, melindungi pantai dari erosi, bahan dalam industri farmasi, dan makanan bagi banyak biota laut (dugong, penyu hijau, ikan, burung laut).
Kondisi padang lamun di Indonesia berdasarkan pada persentase tutupan lamun dari 37 lokasi sampling, yaitu lima lokasi berada dalam kondisi tidak sehat atau buruk, 27 dalam kondisi kurang sehat, dan lima lokasi dalam kondisi sehat. 
4. Terumbu Karang
Terumbu karang di Indonesia merupakan bagian dari CTI (Coral Triangle Initiative) bersama dengan Negara tetangga lain seperti Filipina, Papua Nugini, Malaysia, Kepulauan Solomon, Timur Leste, dan Republik Palau. Menurut LIPI, kondisi terumbu karang Indonesia tahun 2015 secara umum adalah 5 persen berstatus sangat baik, 27,01 persen dalam kondisi baik, 37,97 persen dalam kondisi buruk, dan 30,02 persen dalam kondisi jelek. Kondisi terumbu karang paling buruk dan semakin menurun terjadi di wilayah Indonesia timur. Kondisinya adalah 4,64 persen berstatus sangat baik, 21,45 persen baik, 33,62 persen buruk, dan 40,29 persen jelek. Sedangkan, kondisi paling baik ada di Indonesia bagian tengah dengan 5,48 persen terkategori sangat baik, 29,39 persen baik, 44,38 persen buruk, dan 20,75 persen jelek. Sementara untuk status Indonesia bagian barat ialah 4,94 persen sangat baik, 28,92 persen baik, 36,68 persen buruk, dan 29,45 persen jelek. Tren kondisi terumbu karang di dunia saat ini sedang mengalami penurunan. Hal itu seperti yang terjadi di Jepang dan Australia. Penyebab kerusakan terumbu karang di antaranya karena pemakaian alat tangkap yang merusak, peningkatan pencemaran, permasalahan global pemicu bleaching (pemutihan) karang, serta penyakit karang dan predasi.
5. ESDM
Kondisi morfologi dasar perairan yang mencakup aspek batimetri, geologi dan geomorfologi merupakan sumberdaya yang relatif statis, yang tidak akan berubah selama tidak ada kejadian alam yang luar biasa. Batimetri dapat berubah terutama di wilayah pesisir, utamanya karena aktivitas pembangunan infrastruktur dan sedimentasi dari DAS (Daerah Aliran Sungai). Ketiga informasi tersebut dapat digunakan untuk memprediksi potensi energi dan sumberdaya mineral (ESDM) yang terkandung didalamnya. Potensi ESDM secara nasional telah dipetakan oleh Kementerian ESDM, terutama minyak bumi dan gas yang 70% terletak di wilayah pesisir dan lepas pantai. Berdasarkan, data Badan Geologi Nasional, Indonesia memiliki 60 cekungan minyak bumi dan gas alam. 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 cekungan berada di wilayah pesisir dan 6 cekungan berada di daratan. Dari 60 cekungan tersebut, diperkirakan cadangan minyak bumi dan gas nasional adalah 9,1 milyar barrel dan 101,7 TSCF (Ton Standard of Cubic Feet). Secara potensial, sumberdaya alam minyak bumi dapat mencapai 87,22 milyar barrel dan gas alam sebesar 594,43 TSCF. Wilayah laut Indonesia juga kaya akan mineral lain seperti emas, perak, timah, mangan dan bijih besi. Untuk inventarisasi mineral dasar laut sejauh ini belum banyak dilakukan eksplorasi. Sudah saatnya intensitas eksplorasi sumberdaya mineral semakin ditingkatkan untuk mendukung pembangunan kelautan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada sektor non-migas, Indonesia juga memiliki Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang cukup Transportasi besar diantaranya, mini/micro hydro sebesar 450 MW, Biomass 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3-6 m/det dan energi nuklir 3 GW. dimana pengembangannya mengacu kepada Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres disebutkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi Bahan Bakar Nabati sebesar 5%, Panas Bumi 5%, Biomasa, Nuklir, Air, Surya, dan Angin 5%, serta batubara yang dicairkan sebesar 2%. Untuk itu langkah-langkah yang akan diambil Pemerintah adalah menambah kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Mikro Hidro menjadi 2,846 MW pada tahun 2025, kapasitas terpasang Biomasa 180 MW pada tahun 2020, kapasitas terpasang angin (PLT Bayu) sebesar 0,97 GW pada tahun 2025, surya 0,87 GW pada tahun 2024, dan nuklir 4,2 GW pada tahun 2024. Total investasi yang diserap pengembangan EBT sampai tahun 2025 diproyeksikan sebesar 13,197 juta USD.
Kondisi oseanografis perairan Indonesia yang meliputi arus, gelombang, pasang surut, dan suhu menyimpan potensi energi terbarukan yang sangat tinggi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Energi laut ini merupakan sumber energi masa depan Indonesia dan pemerintah perlu serius menggarap sektor energi laut terbarukan untuk melepaskan ketergantungan pada energi bahan bakar fosil yang jumlahnya semakin menipis. Optimalisasi energi terbarukan merupakan solusi pemenuhan dan pemerataan kebutuhan energi nasional yang saat ini masih menjadi salah satu isu utama pembangunan nasional.
Klasifikasi potensi energi laut dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu potensi teoritis, potensi teknis dan potensi praktis. Pemetaan potensi energi laut tersebut dilaksanakan oleh Badan Litbang ESDM bekerjasama dengan ASELI (Asosiasi Energi Laut Indonesia) dan berbagai kementerian/lembaga dan perguruan tinggi, yaitu Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
6. Transportasi
Laut sebagai media transportasi mempunyai peran yang besar sebagai jalan raya navigasi laut, baik untuk armada perniagaan, mobilisasi manusia, maupun armada angkatan laut. Di sektor transportasi, wilayah laut Indonesia tidak saja berfungsi untuk menghubungkan seluruh kepulauannya, namun juga melayani angkutan laut/logistik internasional yang melintasi alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Global Trade Flow and Indonesia Context (Maersk, 2014) menggambarkan potensi pemanfaatan wilayah laut Indonesia cukup tinggi mengingat perkembangan aktivitas ekonomi/perdagangan khususnya di wilayah Eropa, Afrika dan Asia Pasifik yang tidak lagi mengenal batas negara sehingga menyebabkan tingginya kebutuhan transportasi mendukung rantai pasok global. Berdasarkan perhitungan pakar maritim Indonesia diperkirakan sekitar 90% perdagangan international diangkut melalui laut, sedangkan 40% dari rute perdagangan internasional tersebut melewati Indonesia. Angka yang luar biasa. Hal ini berarti, Indonesia sampai kapanpun akan menjadi tempat strategis dalam peta dunia. Saat ini total jumlah pelabuhan di Indonesia baik komersial maupun non-komersial yaitu berjumlah 1.241 pelabuhan, atau satu pelabuhan melayani 14 pulau (14,1 pulau/pelabuhan) dengan luas rerata 1548 km2/pelabuhan. Keadaan infrastruktur tersebut masih belum berimbang jika dibandingkan negara kepulauan lainnya di Asia, misalnya: Jepang 3,6 pulau/pelabuhan dan 340 km2/pelabuhan; serta Filipina 10,1 pulau/pelabuhan dan 460 km2/pelabuhan.
7. Pariwisata Bahari
Kekayaan laut Nusantara yang bernilai ekonomis sangat besar adalah pariwisata bahari. Jika dikeloka secara optimal, profesional dan bijaksana tentunya akan menjadi Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) berkelas dunia, menghasilkan devisa yang besar bagi negara, memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Sebagai contohnya adalah pulau Padaido di Bia (Papua), kepulauan Supiori (Papua), Takabonerate, Tukang Besi di Buton dan Kepulauan Raja Ampat. Menurut penilaian badan Pariwisata Dunia (World Tourism Organization) pulau Padaido di Biak (Papua), kepulauan Supiori (Papua), Takabonerate, dan Tukang Besi di Buton mendapatkan skor 35, sedangkan taman laut tersohor Great Barrier Reef di Queensland, Australia hanya mendapatkan skor 28. Kepulauan Raja Ampat tercatat sebagai 10 tempat terindah di dunia untuk kegiatan menyelam (diving). Hal tersebut menunjukan bahwa laut Indonesia memiliki potensi yang luar biasa sebagai lokasi pariwisata bahari. Menurut Laode, pakar ekonomi maritim sekaligus pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang, menyatakan bahwa Indonesia masuk dalam sabuk (belt) ekonomi kemaritiman. Pengembangan sabuk (belt) ekonomi kemaritiman ini dapat dititik beratkan pada dua bagian, yaitu:
a. Jalur Lingkar Luar
Daerahnya meliputi: Pulau Weh (Sabang), Pulai Nias (Sumatera Utara), Pulau Siberut (Sumatera Barat), Sendang Biru (Jawa Timur), Pulau Rote (NTT), dan Pulau Biak (Papua)
b. Jalur Lingkar Dalam
Daerahnya meliputi: pulau Seribu (Jakarta), Kepualauan Karimun (Jawa Tengah), Pulau Bali, Pulau Bitung (Sulawesi Utara), Pulau Moyo (NTB) dan pulau Wakatobi
Related Posts
Zona Geografi
Seorang penggiat pengetahuan geografi yang selalu ingin berbagi pengetahuan dan informasi mengenai fenomena yang terjadi di Bumi

Related Posts

Posting Komentar