aRtmGj9nYCRgAUanjInMp3gEbQOqXBW58gLhi6IP

Permasalahan Dalam Penerapan Tata Ruang Wilayah

Zona Geografi - Permasalahan Dalam Penerapan Tata Ruang Wilayah - Rencana Tata Ruang Wilayah yang sudah dikonsep sedemikian rupa dengan analisis dan studi secara teliti ternyata dalam pelaksanaannya tidak selalu bisa diterapkan sesuai rencana yang telah dibuat tadi, lantas apakah yang menyebabkan rencana tersebut tidak bisa terlaksana dengan baik? banyak hal yang bisa terjadi dalam realisasi rencana tata ruang wilayah, jangankan untuk yang skala nasional, untuk skala wilayah yang cakupannya lebih kecilpun bisa sangat sulit untuk direalisasikan. 



Banyak sekali permasalahan dalam penerapan tata ruang wilayah, apakah itu? mari kita simak tentang permasalahan dalam penerapan tata ruang wilayah berikut ini.

Masalah Inti dalam Penerapan Tata Ruang Wilayah
  • Belum semua daerah di Indonesia mempunyai rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sesuai dengan RTRW Nasional.
  • Perencanaan tata ruang selalu disatukan dengan rencana pengembangan
  • Perencanaan lebih banyak didominasi oleh keputusan politik
  • Meningkatnya kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan.
  • Terjadi alih fungsi lahan.
  • Konflik kepentingan antar-sektor (kehutanan, pertambangan, lingkungan, prasarana wilayah, dll)
  • Konflik antar-wilayah: Pusat-Daerah dan Antardaerah.
  • Penggunaan ruang tidak sesuai peruntukan.
  • Menurunnya luas kawasan yang berfungsi lindung, kawasan resapan air dan meningkatnya DAS kritis.
Masalah yang lebih detailnya adalah sebagai berikut.

1. Masalah Kebijakan dan Integritas Para Kepala Daerah
Kebijakan dan integritas para kepala daerah sangat berpengaruh terhadap keberadaan dokumen tata ruang baik RTRW maupun RDTR yang biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk menyusunnya. Proses penyusunan yang panjang ini karena adanya tarik ulur antara DPR, Pemda dan masyarakat.
Langkanya Perda tentang RTRW, RDTR, Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB), dapat diidentifkasikan bahwa: kebijakan dan integritas para Pemimpin daerah di tingkat kabupaten sangat kurang untuk melindungi wilayahnya secara berkelanjutan. Salah satu faktornya adalah: garansi kekuasaan yang hanya lima tahun dalam satu periode, sementara dalam proses pencalonan membutuhkan biaya yang sangat tinggi, mendorong usaha pengembalian modal yang cukup besar. Salah satu sumber dana adalah proses pembangunan di daerahnya, seperti pengeluaran berbagai jenis perizinan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan bangunan. RTRW dan PLPPB dianggap membatasi proses pembangunan. Dengan dalih investasi dan membuka lapangan pekerjaan sering penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya. Walaupun adanya sanksi dalam UU dan Perda, namun dalam pelaksanaannya sering tidak dapat menjangkau para penguasa dan pemilik modal, walaupun telah melanggar tata ruang, seperti sempadan pantai, danau, sungai dan jurang.
2. Masalah Pembiayaan dan Tenaga Ahli/ Kepakaran
Pembiayaan dan kualitas tenaga ahli yang rendah sering berpengaruh terhadap kualitas produk dokumen RTRW. Penyusunan dokumen tata ruang didahului oleh kajian akademik yang meliputi analisis aspek fisik, lingkungan, ekonomi, sosial budaya. Analisis berbagai aspek tersebut diperlukan spesifkasi tenaga ahli yang sesuai dengan kepakarannya. Anggaran RTRW yang rendah berdampak pada kualitas dan kepakaran tim penyusun yang rendah pula. Bahkan beberapa nama pakar hanya sebatas dicantumkan. Namun dalam pelaksanaannnya sering tidak terlibat.
Penyusunan RTRW dan penataan ruang lainnya, seperti rencana detail tata ruang (RDTR), rencana strategis atau rencana rinci, sering dikerjakan oleh pihak ketiga. Pihak ini mengerjakan RTRW di beberapa daerah. Anggapannya proses penyusunan RTRW sudah baku merupakan kelemahan, karena intuisi keilmuannya kurang dan hanya mengejar keuntungan, maka sering ditemukan adanya autoplagiat atau copy paste.
3. Masalah Tingkat Ketelitian dan Keterbaruan Data Base
Dalam pelaksanaan penyusunan RTRW sering menggunakan data lama dan berkualitas rendah. Akibatnya banyak lokasi perencanaan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya untuk kawasan-kawasan tertentu. Penentuan kawasan yang tidak sesuai dengan kemampuan, kesesuaian lahan dan daya dukung serta daya tampung lahannya dalam rancangan Permen LH 2011 digolongkan ke dalam lahan kritis.
Data fisik, lingkungan, sosial budaya dan ekonomi merupakan data pokok yang sering disebut data base atau data dasar yang digunakan untuk analisis kesesuaian lahan dalam penentuan berbagai kawasan. Demikian pula data untuk analisis daya dukung lahan dan air serta ruang wilayah. Banyaknya data dan informasi yang dibutuhkan diperoleh dari data primer, data sekunder dan data hasil analisis. Berbagai data tersebut diperoleh dari hasil survei, analisis dan klasifkasi tertentu sesuai dengan tingkatan yang telah disyaratkan, seperti halnya data penduduk dan data penggunaan dan pemanfaatan lahan harus data terkini, yang diproyeksikan untuk 20 tahun mendatang.
Demikian pula data fisik, lingkungan dan sosial budaya serta ekonomi membutuhkan data primer, disamping data sekunder sebagai pembanding. Mahal dan lamanya memperoleh data tersebut, sering diadikan alasan menggunakan data lama. Oleh karena itu, dalam perencanaan sering tidak sesuai dengan kebutuhan tingkat kualitas datanya. Seperti halnya data penggunaan lahan untuk seluruh Bali membutuhkan waktu dan biaya yang mahal dan lama. Oleh karena itu, sering digunakan data tahun 2000-an, padahal perencanaan tahun 2010-an. Demikian pula data iklim 10 tahun ke belakang berbeda dengan pola iklim 20 tahun sebelumnya. Ini jelas datanya sudah kadaluarsa alias data tidak valid. Berbeda dengan data kemiringan lereng, relief, data jenis tanah dan kerentanan terhadap bencana alam letusan gunung, longsoran tanah, tsunami, angin kencang, dll merupakan data yang cukup stabil, kecuali terjadi bencana alam. 
4. Masalah Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan antara konsep pelestarian dan pembangunan ekonomi merupakan permasalahan yang sering terjadi. Sebagai contoh, mahalnya harga tanah di Bali, dan daya tarik wisata pantainya serta ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seolah membatasi penggunaan dan pemanfaatan lahan. Di Bali, konflik kepentingan terjadi akibat dari kebutuhan masyarakat akan hak atas tanah milik dengan penetapan kawasan lindung dalam rangka pelestarian kawasan suci dan kawasan ruang terbuka hijau publik dan privat. Masyarakat yang tanahnya terdapat di ruang terbuka hijau atau berada dalam kawasan suci, akan mendapatkan nilai jual ekonomi yang rendah bila dibanding dengan lahan yang berada di kawasan pariwisata, kawasan perdagangan dan jasa, industri dan pemukiman. Masyarakat desa adat yang akan membangun rumah, sementara lahan yang akan dibangun merupakan RTH atau kawasan suci akan terjadi konflik kepentingan, karena permasalahan keikutsertaan dalam adat yang sebagian besar tidak dapat pindah ke adat lainnya, terutama dalam kegiatan suka dan duka. Menyebabkan alokasi ruang tidak sesuai dengan peruntukannya karena pemerintah belum mampu untuk membeli tanah yang ditetapkan sebagai RTH dan kawasan lindung.
5. Masalah Ekonomi
Harga tanah di kawasan budidaya pertanian seperti RTH, RTHK, dan kawasan lindung setempat jauh lebih murah dibanding dengan kawasan budidaya nonpertanian (perumahan, perdagangan, industri, pariwisata dll). Harga tanah yang semula sebagai lahan pertanian sangat murah, dan meningkat sangat tinggi berpuluh bahkan beratus kali lipat bila dijadikan kawasan nonpertanian yang dilengkapi dengan aksesibilitas yang baik. Hal inilah baik masyarakat, maupun para spekulan tanah justru mengajukan konsolidasi tanah karena telah mengetahui peningkatan harga tanah yang tinggi bila lahan pertaniannya diubah menjadi kawasan pemukiman, perdagangan, jasa, dan sarana penunjang pariwisata lainnya.
6. Sosial Budaya
Sebenarnya masalah sosial budaya adalah imbas dari masalah sebelumnya yaitu ekonomi, dan akhirnya membuat semua perseorangan dan swasta berlomba-lomba untuk mendapatkan ruang untuk kegiatan ekonomi, dan akhirnya menyebabkan yang namanya keterdesakan ruang dampak dari keterdesakan ruang adalah semua kegiatan dihargakan dengan nilai ekonomi, walaupun semula lahan tersebut berfungsi sosial budaya. Fenomena ini mengantarkan para remaja untuk terbawa ke pikiran membeli (user), bukan menciptakan (produser). Dampak keterdesakan ruang lainnya adalah terjadinya gangguan keamanan, ketertiban dan keharmonisan lingkungan. Budaya agraris yang mengedepankan kebersamaan, tenggang rasa dan kegotong royongan, saling asah, dan saling asuh, tergantikan oleh budaya kota yang mengedepankan persaingan, individualis dan egoisme. Permasalah adat sering terjadi adanya sengketa tapal batas antara satu banjar/desa adat dengan banjar/desa adat yang lainnya. Karena semula perbatasan semula lebih bernilai sosial budaya, berubah fungsinya menjadi niai ekonomi. Hal inilah penyebab adanya konflik kepentingan sosial budaya karena adanya nilai ekonomi.
7. Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup
Penataan ruang ditujukan untuk melestarikan lingkungan hidup agar dapat digunakan secara berkelanjutan dan memberikan dampak positif terhadap pembangunan, dan mengurangi dampak negatif lingkungan hidup. Azas keberlanjutan, keserasian dan keterpaduan, serta kepentitangn umum tidak dapat diterapkan, bila mengedepankan nilai ekonomi dan mengeliminir nilai lingkungan hidup. Berbagai pelanggaran pembangunan yang secara ekologis tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya banyak diumpai di daerah pantai, muara sungai dan tebing sungai. Pelanggaran terhadap RTHK di wilayah perkotaan marak terjadi, dengan dalih kebutuhan lahan untuk pemukiman. Fungsi pelaksanaan dan pengawasan seolah tidak dilakukan. Oleh karena itu kajian AMDAL berapa kalipun tentunya akan menghasilkan dampak positif terhadap lingkungan hidup. Namun kenyataannya pembangunan tetap berjalan.
8. Masalah Politik
Salah satu tujuan penataan ruang adalah untuk menghindari adanya konflik kepentingan. Dalam era otonomi daerah, dimana para Legislatif memiliki konstituen di suatu daerah dan atau wilayah tertentu. Demikina pula kandidat pasangan calon kepala Pemerintahan Daerah (Pemda) mempunyai basis pendukung di lokasi tertentu, sering terjadi sebagai faktor kendala dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang wilayah. Alokasi ruang dan pengguna lahannya, pada umumnya menghindari wilayah konstituen tersebut diadikan kawasan lestari, seperti ruang terbuka hijau kota (RTHK) di wilayah perkotaan dan RTH di wilayah perdesaan dan atau kawasan lindung. Sering diumpai bahwa banyaknya pesanan dari para politikus dan pemuka masyarakat tertentu untuk mempengaruhi penetapan fungsi-fungsi kawasan, agar tanah miliknya diadikan kawasan ekonomi. Bila berada pada kawasan lindung dan lindung setempat, maka sedapat mungkin mengubahnya menjadi kawasan budidaya non-pertanian. Pelaksanaan penataan ruang juga pengaruh dari berbagai pihak cukup tinggi. Bangunan yang tidak sesuai dengan alokasi ruang di Bali sering dijumpai di berbagai lokasi. Pelanggaran di RTH, RTHK dan kawasan lindung sering dilakukan oleh orang yang mengerti tentang tata ruang. Bila kita menelusuri siapa pemilik bangunan tersebut, jawabannya adalah orang yang bermodal dan orang-orang yang didukung oleh politisi atau tokoh yang berpengaruh kepada pemerintah. Para spekulan tanah dan pemodal yang mengetahui bahwa pengawasan terhadap pelanggaran tata ruang sangat lemah, maka dengan tidak segan segan memasang iklan di lokasi untuk mengapling dan menggunakan tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Akibatnya banyak terjadi tanah-tanah yang seolah-olah terlantar, pada kenyataannya adalah perpindahan tanganan dari pemilik yang satu dengan pemilikan lainnya akibat dari adanya calo tanah dan para spekulan lainnya.
9. Masalah Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk yang tinggi serta urbanisasi yang tidak terkendali, berdampak pada keterdesakan ruang. Dampak negatif diantaranya adalah menimbulkan berbagai permasalahan, dari mulai penyediaan pemukiman dan sarana prasarana, serta lapangan pekerjaan. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan percepatan pembangunan, seolah penataan ruang jauh tertinggal dari kebutuhan masyarakat akan sarana-prasarana dan persediaan lahan untuk berbagai kegiatan usaha. Akibatnya adanya tata ruang seolah sering dilanggar karena masyarakatnya dalam menggunakan dan memanfaatkan lahan tidak sesuai dengan peruntukannya. Dampak yang nyata adalah tumbuhnya pemukiman kumuh, yang semakin hari semakin banyak, gangguan ketertiban dan keamanan, semakin macetnya lalu lintas, banyaknya calo tanah, kurangnya saranaprasarana umum, dan dampak negatif dikalangan remaja. Permasalahan utama adalah tidak seimbangnya pembangunan saranaprasarana umum yang dapat dinikmati oleh warga masayarakat dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di wilayah perkotaan tentunya berbeda dengan di wilayah perdesaan. Urbanisasi sebagai dampak positif dapat menambah tenaga kerja untuk pembangunan kota. Para urban yang perpendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian pada umumnya merupakan pekerja kasar.
10. Masalah Keamanan
Keamanan akan lebih terkendali bila pendudukanya homogen seperti di wilayah perdesaan. Gangguan keamanan tentunya lebih banyak terjadi diwilayah perkotaan, akibat dari persaiangan dan semua keguatan dan produk diharhagakan dengan nilai ekonomi. Penduduk yang heterogen dengan berbagai pandangan dan persepsi yang melekat di wilayah dari daerah asalnya, tentunya akan berbeda dengan masyarakat yang berasal dari komunitas etnis dan suku yang berbeda. Komunikasi yang kurang lancar dapat menimbulkan kesalalah persepsi data lanjut ke masalah gangguan keamanan. Tujuan penataan ruang salah satunya adalah agar tidak terjadi tumpang tindih peruntukan lahannya yang secara lingkungan dapat menimbulkan dampak negatif penggunaan dan pemanfaatan lahan yang satu dengan yang lainnya. Dalam alokasi ruang yang harmonis, seimbang dan serasi memisahkan antara peruntukan lahan sebagai kawasan pemukiman dengan kawasan industri dan kawasan perdagangan dan jasa. Fenomena yang terjadi sepanjang jalan merupakan tempat perdagangan dan jasa dengan berbagai jenis usaha. Pemukiman pada umumnya terletak di belakangnya.
11. Belum Optimalnya Peran Institusi
Masalah institusi adalah masalah kemampuan teknis dan manajemen tata ruang yang masih terbatas. Masalah pertama kurang efektif dan efsien dalam menggunakan sumber-sumber dana. Masalah kedua perencanaan program tidak tepat dan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Ketiga masalah dokumen tata ruang yang tidak digunakan dan hanya disimpan karena tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Dalam pelaksanaannya terjadi konflik kepentingan antara persediaan lahan dengan kebutuhan pembangunan dan kepemilikan tanah. Dalam pengawasan permasalahan yang menonjol adalah partisipasi masyarakat dengan pelaksana tugas pengawasan.
Related Posts
Zona Geografi
Seorang penggiat pengetahuan geografi yang selalu ingin berbagi pengetahuan dan informasi mengenai fenomena yang terjadi di Bumi

Related Posts

Posting Komentar